Berbagai hal terjadi dalam kehidupan manusia. Sebagai makhluk yang beragama, maka siapapun membutuhkan petunjuk ketentuan agama berkaitan kejadian-kejadian, perbuatan-perbuatan dan pilihan-pilihan yang ada dalam hidupnya.
Dalam hal itu, kejadian, perbuatan, pilihan terus berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia, sedangkan Nabi saw sebagai utusan Tuhan yang menyampaikan petunjuk sudah wafat. Hal yang dulu ada sekarang tidak ada. Hal yang dulu tidak ada sekarang ada.
Bagaimana prosedur hukum dalam syari'at Islam untuk menyikapi hal tersebut ?
Jawaban :
Semua madzhab di kalangan kaum muslimin pada dasarnya sepakat bahwa prosedur pengambilan keputusan hukum dalam ketentuan syari'at Islam ada tiga, yaitu :
- Mencari ketentuannya di dalam KITAABULLAH (Al-Quran)
- Mencari ketentuannya pada SUNNAH Rasuulullaah (ucapan, perbuatan dan sikap diamnya Rasuulullaah)
- Bila dalam Al-Quran dan sunnah Rasuulullaah tidak ada, maka dilakukan IJTIHAD (pengerahan kemampuan ilmiyyah untuk mendapatkan kesimpulan hukum)
Prosedur tersebut di antaranya didasarkan kepada :
1. Firman Allah SWT :
يايها الذين امنوا اطيعوا الله و اطيعوا الرسول و اولى الامر منكم فان تنازعتم في شيء فردوه الى الله و الرسول ان كنتم تؤمنون بالله و اليم الاخر ذلك خير و احسن تاويلا
"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul dan kepada ulil amri (pemimpin) di antara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya". (QS An-Nisaa / 4 ayat 59)
Dalam ayat tersebut disebutkan tiga ketaatan, yaitu kepada Allah, kepada Rasul dan kepada ulil amri (pemimpin). Ketaatan kepada Allah dilakukan dengan mengikuti petunjuk Al-Quran. Ketaatan kepada Rasul dilakukan dengan mengikuti petunjuk sunnah Rasul. Ketaatan kepada ulil amri (pemimpin) dilakukan dengan mengikuti hasil keputusan ijtihadnya.
Makna kembali kepada Allah dan Rasul jika berbeda pendapat pada ayat tersebut, bukanlah hanya mencari teks Al-Quran dan sunnah Rasul namun melakukan qiyas (analogi) untuk sesuatu yang belum ada teks ketentuannya di Al-Quran dan sunnah kepada sesuatu yang ada teks ketentuannya. Qiyas ini bagian dari ijtihad.
2. Firman Allah SWT :
و ما أرسلنا من قبلك إلا رجالا نوحي إليهم فسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad), kecuali beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka ; maka bertanyalah kalian kepada ahli dzikir (yang tahu dan sadar/eling) apabila kalian tidak tahu" (QS Al-Anbiyaa / 21 ayat 7)
3. Sabda baginda Nabi Muhammad saw :
اذا حكم الحاكم فاجتهد فاصاب فله اجران و اذا حكم فاخطأ فله اجر واحد
"Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian mencapai kebenaran dalam ijtihadnya, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian ia salah dalam ijtihadnya, maka ia mendapatkan satu pahala (HR Imam Al-Bukhari)
4. Dialog baginda Nabi Muhammad saw dengan sahabat Mu'adz bin Jabal ra :
ان رسول الله صلى الله عليه و سلم بعث معاذ الى اليمن فقال كيف تقضي فقال اقضي بما فيي كتاب الله قال فان لم يكن في كتاب الله فال فبسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم قال فان لم يكن في سنة رسول الله صلى الله عليه و سلم قال اجتهد رايي
"Bahwa Rasulullah saw mengutus sahabat Mu'adz ke Yaman, beliau saw bertanya, "Bagaimana engkau akan memutuskan hukum ?" Sahabat Mu'adz ra menjawab, "Saya akan memutuksan dengan yang ada dalam kitaabullah" Rasulullah saw bertanya lagi, "Bagaimana jika tidak ada dalam kitaabullah ?" Sahabat Mu'adz ra menjawab, "Maka dengan sunnah Rasulullah" Rasulullah saw bertanya lagi, "Bagaimana jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah saw ?" Sahabat Mu'adz ra menjawab, "Saya akan berijtihad dengan pendapat (pengetahuan) saya (HR At-Tirmidzi)
Hadits tersebut ada yang menyatakan bahwa memiliki kecacatan sanad dengan adanya Al-Harits bin Amr sehingga dipandang dha'if. Namun ada jalan sanad lain yaitu dari 'Ubadah bin Nusayyi dari Abdurrahman bin Ghanm dari Mu'adz bin Jabal ra yang mana jalur sanad ini muttasil (tersambung) dan para periwayatnya tsiqah (kredibel/terpercaya).
Selain itu hadits ini pun mendapat syawahid (kesaksian) dari hadits-hadits lain yang menguatkan. Bahkan dalam hal makna adanya ijtihad dikuatkan dengan adanya hadits shahih riwayat Imam Al-Bukhari tentang ijtihad hakim yang ditulis di atas.
Dengan demikian, hadits Mu'adz bin Jabal ini termasuk hadits yang diterima dan dipergunakan sebagai landasan.
Nampaknya cukup jelas bahwa sumber keputusan hukum dalam syari'at Islam ada tiga, yaitu Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijtihaad. Untuk rincian prakteknya seperti apa, silahkan merujuk kepada kitab-kitab yang memaparkan ilmu ushul fiqh.
Hati-hati dengan pemahaman baru dari beberapa kalangan di zaman yang menyimpang dari jalan ijma' (pemahaman yang disepakati kaum muslimin) seluruh madzhab ini. Mereka memandang memutuskan hukum itu hanya dengan teks Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka memandang bila tidak ada pada teks Al-Quran dan As-Sunnah, maka langsung dihukumi bid'ah dan sesat. Pandangna ini keliru, karena menghilangkan ijtihad. Menghilangkan ijtihad ini menyimpang dari ijma'. Menghilangkan ijtihad ini menyimpang dari tuntunan di Al-Quran dan As-Sunnah.
Hati-hati dengan pemahaman baru dari beberapa kalangan di zaman yang menyimpang dari jalan ijma' (pemahaman yang disepakati kaum muslimin) seluruh madzhab ini. Mereka memandang memutuskan hukum itu hanya dengan teks Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka memandang bila tidak ada pada teks Al-Quran dan As-Sunnah, maka langsung dihukumi bid'ah dan sesat. Pandangna ini keliru, karena menghilangkan ijtihad. Menghilangkan ijtihad ini menyimpang dari ijma'. Menghilangkan ijtihad ini menyimpang dari tuntunan di Al-Quran dan As-Sunnah.